Pendekatan dalam Ilmu Politik – Kuliahmandiri.my.id

Macam-macam Pendekatan dalam Ilmu Politik


A. Pengantar

        Ilmu Politik mengalami perkembangan yang pesat dengan munculnya berbagai pendekatan (approaches). Berikut beberapa pendekatan dalam Ilmu Politik yaitu : Pendekatan Legal (yuridis), Pendekatan Institusional, Pendekatan Perilaku, Pendekatan Pasca-Perilaku, Pendekatan Neo-Marxis, Pendekatan Pilihan Rasional (Rational Choice), Teori Ketergantungan (Dependency Theory), dan Pendekatan Institusionalisme Baru (New Institutionalism). Istilah pendekatan mencakup standar atau tolok ukur yang dipakai untuk memilih masalah, menentukan data mana yang akan diteliti dan data mana yang akan dikesampingkan. Ini tentu saja berbeda dengan metode yang hanya mencakup prosedur untuk memperoleh dan mempergunakan data.

B. Pendekatan Ilmu Politik

1. Pendekatan Legal/Institusional

  • Pendekatan Legal/Institusional sering dinamakan pendekatan tradisional.
  • Berkembang abad 19 pada masa sebelum Perang Dunia II.
  • Dalam pendekatan ini negara menjadi fokus pokok, terutama segi konstitusional dan yuridisnya.
  • Bahasan tradisional menyangkut antara lain sifat dari undang-undang dasar, masalah kedaulatan, kedudukan dan kekuasaan formal serta yuridis dari lembaga-lembaga kenegaraan seperti parlemen, badan eksekutif, dan badan yudikatif. Dengan demikian pendekatan tradisional ini mencakup baik unsur legal maupun unsur institusional.
  • Dalam parlemen, pendekatan ini akan membahas tentang kekuasaan serta wewenang yang dimilikinya seperti tertuang dalam naskah-naskah resmi (undang-undang dasar, undang-undang atau peraturan tata tertib); hubungan formal dengan badan eksekutif; struktur organisasi (pembagian dalam komisi, jenjang-jenjang pembicaraan) atau hasil kerjanya (berapa undang-undang telah dihasilkan).
  • Pendekatan tradisional tidak menghiraukan organisasi-organisasi informal, seperti kelompok kepentingan dan kelompok lainnya, dan juga media komunikasi. Bahasan ini lebih bersifat statis dan deskriptif daripada analitis, dan banyak memakai ulasan sejarah. Lagi pula dalam proses pembahasan, ”fakta” kurang dibedakan dengan norma. 
  • Pendekatan tradisional lebih sering bersifat normatif (yaitu sesuai dengan ideal atau standar tertentu) dengan mengasumsikan norma-norma demokrasi Barat. Menurut penglihatan ini, negara ditafsirkan sebagai suatu badan dari norma-norma konstitusional yang formal.
  • Di Amerika pandangan baru ini memang lebih mudah dapat diterima karena keadaan sosial banyak berbeda dengan keadaan di Eropa.
  • Pendekatan ini cenderung untuk mendesak konsep kekuasaan dari kedudukan sebagai satu-satunya faktor penentu, sehingga menjadi hanya salah satu dari sekian banyak faktor (sekalipun mungkin penentu yang paling penting) dalam proses membuat dan melaksanakan keputusan. 
  • Pendobrakan terhadap pendekatan tradisional terjadi dengan tumbuhnya Pendekatan Perilaku (Behavioral Approach).

2. Pendekatan Perilaku

  • Pendekatan Perilaku mulai berkembang di Amerika pada tahun 1950-an seusai Perang Dunia II. Adapun sebab-sebab kemunculannya adalah sebagai berikut:
    • Pertama, sifat deskriptif dari ilmu politik dianggap tidak memuaskan, karena tidak realistis dan sangat berbeda dengan kenyataan seharihari.
    • Kedua, ada kekhawatiran bahwa, jika ilmu politik tidak maju dengan pesat, ia akan ketinggalan dibanding dengan ilmu-ilmu lainnya, seperti sosiologi dengan tokohnya Max Weber (1864-1920) dan Talcott Parsons (1902-1979), antropologi, dan psikologi.
    • Ketiga, di kalangan pemerintah Amerika telah muncul keraguan mengenai kemampuan para sarjana ilmu politik untuk menerangkan fenomena politik.
  • Pemikiran pokok dari Pendekatan Perilaku ialah tidak ada gunanya membahas lembaga-lembaga formal, karena pembahasan seperti itu tidak banyak memberi informasi mengenai proses politik yang sebenarnya. Sebaliknya, lebih bermanfaat untuk mempelajari perilaku (behavior) manusia karena merupakan gejala yang benar-benar dapat diamati.
  • Pembahasan mengenai perilaku bisa saja terbatas pada perilaku perorangan saja, tetapi dapat juga mencakup kesatuan-kesatuan yang lebih besar seperti organisasi kemasyarakatan, kelompok elite, gerakan nasional, atau suatu masyarakat politik (polity).
  • Lembaga formal tidak sebagai titik sentral atau sebagai aktor yang independen, tetapi hanya sebagai kerangka bagi kegiatan manusia. Jika penganut Pendekatan Perilaku mempelajari parlemen, maka yang dibahas antara lain perilaku anggota parlemen seperti pola pemberian suaranya (voting behavior) terhadap rancangan undang-undang tertentu (apakah pro atau anti, dan mengapa demikian), pidato-pidatonya, cara berinteraksi dengan teman sejawat, kegiatan lobbying, dan latar belakang sosialnya.
  • Berorientasi terhadap kegiatan seperti sikap, motivasi, persepsi, evaluasi, untutan, harapan, dan sebagainya.
  • Pendekatan ini cenderung untuk bersifat interdisipliner.
  • Tidak hanya mempelajari faktor pribadi, tetapi juga faktor-faktor lainnya seperti budaya, sosiologis, dan psikologis.
  • Pendekatan perilaku menampilkan suatu ciri khas yang revolusioner yaitu suatu orientasi kuat untuk lebih mengilmiahkan ilmu politik. Orientasi ini mencakup beberapa konsep pokok, yang oleh David Easton (1962) dan Albert Somit (1967), diuraikan sebagai berikut:
    • Perilaku politik menampilkan keteraturan (regularities) yang perlu dirumuskan sebagai generalisasi-generalisasi yang kemudian dibuktikan atau diverifikasi kebenarannya. Proses verifikasi ini dilakukan melalui pengumpulan dan analisis data yang dapat diukur atau dikuantiikasikan antara lain melalui statistik dan matematika.
    • Harus ada usaha membedakan secara jelas antara norma (ideal atau standar sebagai pedoman untuk perilaku) dan fakta (sesuatu yang dapat dibuktikan berdasarkan pengamatan dan pengalaman).
    • Analisis politik tidak boleh dipengaruhi oleh nilai-nilai pribadi si peneliti; setiap analisis harus bebas-nilai (value-free), sebab benar/tidaknya nilai-nilai seperti misalnya demokrasi, persamaan, kebebasan, tidak dapat diukur secara ilmiah.
    • Penelitian harus sistematis dan menuju pembentukan teori (theory building).
    • Ilmu politik harus bersifat murni (pure science); kajian terapan untuk mencari penyelesaian masalah (problem solving) dan menyusun rencana perbaikan perlu dihindarkan. Akan tetapi ilmu politik harus terbuka bagi dan terintegrasi dengan ilmu-ilmu lainnya.
  • Para penganut pendekatan ini tidak hanya mempelajari institusi-institusi, tetapi juga manusia di dalamnya, seperti perilaku presiden dan anggota parlemen, bagaimana mereka menjalankan tugas, dan bagaimana mereka memandang perilaku mereka sendiri.
  • Ciri khas Pendekatan Perilaku ini ialah pandangan bahwa masyarakat dapat dilihat sebagai suatu sistem sosial, dan negara sebagai suatu sistem politik yang menjadi subsistem dari sistem sosial.

2.1 Kritik Terhadap Pendekatan Perilaku 

  • Pendekatan Perilaku menolak masuknya nilai-nilai (value-free) dan norma-norma dalam penelitian politik. Menurut kalangan tradisionalis, mereka yang berada di balik Pendekatan Perilaku tidak mengusahakan mencari jawaban atas pertanyaan yang mengandung nilai, seperti apakah sistem politik demokrasi yang baik, dan sebagainya.
  • Pendekatan Perilaku tidak mempunyai relevansi dengan realitas politik dan terlalu banyak memusatkan perhatian pada masalah yang kurang penting, seperti survei mengenai perilaku pemilih, sikap politik, dan pendapat umum.
  • Pendekatan Perilaku tidak peduli atau buta terhadap masalah-masalah sosial yang gawat seperti konflik dan pertentangan-pertentangan pada saat itu yang mengguncangkan masyarakat. 
  • Perbedaan antara para tradisionalis dengan para behavioralis (Pendekatan Perilaku) dapat disimpulkan sebagai berikut :
    • Jika para tradisionalis menekankan nilai-nilai dan norma-norma, maka para behavioralis menekankan fakta.
    • Jika para tradisionalis menekankan segi ilsafat, maka para behavioralis menekankan penelitian empiris.
    • Jika para tradisionalis memperjuangkan ilmu yang bersifat terapan, maka para behavioralis memperjuangkan perlunya ilmu bersifat murni.
    • Jika para tradisionalis menonjolkan aspek historis-yuridis, maka para behavioralis mengutamakan aspek sosiologis-psikologis.
    • Jika para tradisionalis memilih metode kualitatif, maka para behavioralis lebih mementingkan metode kuantitatif. 

3. Pendekatan Neo-Marxis 

  • Cikal bakal orientasi ini adalah tulisan-tulisan sarjana Hongaria, Georg Lukacs (1885-1971), terutama dalam karyanya yang berjudul History and Class Consciousness. 
  • Kebanyakan kalangan Neo-Marxis adalah cendekiawan yang berasal dari kalangan ”borjuis” dan seperti cendekiawan di mana-mana, enggan menggabungkan diri dalam organisasi besar seperti partai politik atau terjun aktif dalam kegiatan politik praktis. Hanya ada satu atau dua kelompok yang militan, antara lain golongan Kiri Baru (New Left).
  • Neo-Marxis menolak komunisme dari Uni Soviet karena sifatnya yang represif, tapi mereka juga tidak setuju dengan banyak aspek dari masyarakat kapitalis di mana mereka berada.
  • Para Neo-Marxis pada tidak mempermasalahkan apakah tafsiran Lenin dan Stalin merupakan satu-satunya tafsiran yang layak.
  • Kelemahan dari Neo-Marxis adalah bahwa mereka mempelajari Marx dalam keadaan dunia yang sudah banyak berubah.
  • Pemikiran Marx dan Engels dijabarkan dan diberi tafsiran khusus oleh Lenin kemudian diberi nama Marxisme-Leninisme atau Komunisme.
  • Karya Marx dan Engels sering ditulis dalam keadaan terdesak waktu sehingga tidak tersusun secara sistematis, sering bersifat fragmentaris dan terpisah-pisah.
  • Neo-Marxis menolak unsur-unsur totaliterisme dan represi. Tidak ada satu Marxisme yang diakui dan ditaati oleh semua golongan.
  • Neo-Marxis terpaksa harus menyusun suatu teori baru dengan memakai naskah-naskah asli dari Marx dan Engels sebagai pangkal tolaknya.
  • Neo-Marxis ingin membahas masalah sosial dari perspektif yang holistik dan dialektis yang memberi tekanan utama pada kegiatan negara dan konflik kelas.
  • Dalam holistik, Neo-Marxis berpendapat bahwa keseluruhan gejala sosial merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dibagi-bagi menjadi bagian–bagian yang tersendiri, seperti politik terlepas dari ekonomi, ekonomi terlepas dari kebudayaan, dan sebagainya. Semua berkaitan erat dan tidak boleh dipisah-pisah Terutama kaitan antara politik dan ekonomi sangat ditekankan oleh kalangan Neo-Marxis.
  • Neo-Marxis hanya mencanangkan keunggulan (primacy) dari basis ekonomi, artinya ekonomi merupakan faktor yang sangat penting dalam politik, tetapi politik tidak seluruhnya ditentukan ekonomi.
  • Fokus analisis Neo-Marxis adalah kekuasaan serta konflik yang terjadi dalam negara.
  • Bagi Neo-Marxis, konflik antarkelas merupakan proses dialektis paling penting dalam mendorong perkembangan masyarakat dan semua gejala politik harus dilihat dalam rangka konlik antarkelas.
  • Neo-Marxis memberi perumusan yang lebih fleksibel dan luas dengan mencanangkan adanya dua himpunan massa (aggregates) yang sedikit banyak kohesif serta memiliki banyak fasilitas (the advantaged) dan mereka yang tidak mempunyai fasilitas (the disadvantaged).
  • Neo-Marxis memperjuangkan perkembangan yang revolusioner serta multi-linier untuk menghapuskan ketidakadilan dan membentuk tatanan masyarakat yang, menurut mereka, memenuhi kepentingan seluruh masyarakat dan tidak hanya kepentingan kaum borjuis.
  • Neo-Marxis menginginkan desentralisasi kekuasaan dan partisipasi dalam politik oleh semua komunitas.
  • Kritik terhadap Neo-Marxis lebih cenderung mengecam pemikiran sarjana ”borjuis” daripada membentuk atau membangun teori baru sendiri yang mantap.
  • Kritik lain terhadap Neo-Marxis kontemporer merupakan ciptaan dari teoretisi sosial yang berasal dari kampus, khususnya dari staf pengajar senior yang direkrut waktu terjadi perluasan universitas pada tahun-tahun 1960-an.
  • Tahun 1970-an pemikiran kelompok Neo-Marxis juga dicantumkan dalam kurikulum jurusan-jurusan ilmu politik di AmerikaSerikat dan Eropa Barat 

4. Teori Ketergantungan (Depedency Theory)

  • Kalangan lain (kelompok yang mengkhususkan penelitiannya pada hubungan antara negara Dunia Pertama dan Dunia Ketiga) yang juga berada dalam rangka teori-teori kiri, yang kemudian dikenal sebagai Teori Ketergantungan.
  • Kelompok ini berpendapat bahwa imperialisme masih hidup, tetapi dalam bentuk lain yaitu dominasi ekonomi dari negara-negara kaya terhadap negara-negara yang kurang maju (underdeveloped).
  • Pemikiran pelopor Teori Ketergantungan, Andre Gunder Frank (tahun 1960-an) yang berpendapat bahwa penyelesaian masalah itu hanyalah melalui revolusi sosial secara global.
  • Henrique Cardoso (1979) menganggap bahwa pembangunan yang independen ada kemungkinan terjadi, sehingga revolusi sosial tidak mutlak harus terjadi.
  • Teori Ketergantungan menunjuk pada perbedaan antara negara kaya dan negara miskin, seperti patron-client, centre-periphery, core-periphery, atau centre-hinterland, metropolitan-satellite.
  • Mereka berpendapat bahwa gejala ini sudah menjadi gejala seluruh dunia; mereka melihat adanya suatu rantai hubungan metropolitan-satelit (chain of metropolitan-satellite) dalam struktur sistem dunia yang melampaui batas-batas negara.
  • Kalangan pendukung Teori Ketergantungan (dependencia), yang pada awalnya memusatkan perhatian pada negara-negara Amerika Selatan, adalah pandangan mereka yang membuka mata kita terhadap akibat dari dominasi ekonomi ini

5. Pendekatan Pilihan Rasional (Rasional Choice)

  • Pendekatan ini muncul dan berkembang belakangan sesudah pertentangan antara pendekatan-pendekatan yang dibicarakan di atas mencapai semacam konsensus yang menunjukkan adanya pluralitas dalam bermacam-macam pandangan.
  • Dalam ilmu politik pada umumnya, dikenal nama Pendekatan Pilihan Rasional (Rational Choice Approach), sementara itu juga ada beberapa nama lain seperti Public Choice dan Collective Choice.
  • Pengikut pendekatan ini menimbulkan kejutan karena mencanangkan bahwa mereka telah meningkatkan ilmu politik menjadi suatu ilmu yang benar-benar science.
  • Mereka percaya bahwa kita dapat meramalkan perilaku manusia dengan mengetahui kepentingan-kepentingan dari aktor yang bersangkutan (involved).
  • Para penganut membuat simpliikasi yang radikal dan memakai model matematika untuk menjelaskan dan menafsirkan gejala politik.
  • Inti dari politik menurut mereka adalah individu sebagai aktor terpenting dalam dunia politik.
  • Mereka selalu mencari cara yang eisien untuk mencapai tujuannya.
  • Optimalisasi kepentingan dan efisiensi merupakan inti dari teori Rational Choice.
  • Aplikasi teori ini sangat kompleks.
  • Teori ini sangat ditentang oleh para penganut structural functionalism karena dianggap tidak memerhatikan kenyataan bahwa manusia dalam perilaku politiknya sering tidak rasional, bahwa manusia sering tidak mempunyai skala preferensi yang tegas dan stabil, dan bahwa ada pertimbangan lain yang turut menentukan sikapnya, seperti faktor budaya, agama, sejarah, dan moralitas.
  • Kritik terhadap pemikiran ini adalah terlalu individualistik dan materialistik, seolah-olah manusia sama sekali tidak ada sifat altruism (peduli terhadap sesama manusia).
  • Kritik lain mengatakan bahwa pendekatan ini sebaiknya dianggap sebagai suatu teori khusus (yaitu khusus dalam situasi tertentu dan manusia tertentu), bukan yang berlaku umum.
  • Pendekatan Rational Choice sangat berjasa untuk mendorong usaha kuantiikasi dalam ilmu politik dan mengembangkan sifat empiris yang dapat dibuktikan kebenarannya. Ia merupakan suatu studi empiris, ketimbang abstrak dan spekulatif.
  • Salah satu reaksi terhadap pendekatan ini adalah timbulnya perhatian kembali pada karya John Rawls, A Theory of Justice (1971) yang mengargumentasikan bahwa nilai-nilai seperti keadilan, persamaan hak, dan moralitas merupakan sifat manusia yang perlu diperhitungkan dan dikembangkan.

6. Pendekatan Institusionalisme Baru

  • Insitusionalisme Baru (New Institutionalism) merupakan suatu visi yang meliputi beberapa pendekatan lain, bahkan beberapa bidang ilmu pengetahuan lain seperti sosiologi dan ekonomi.
  • Institusionalisme Baru mempunyai banyak aspek dan variasi. Sebut saja misalnya, Institusionalisme Baru sosiologi, Institusionalisme Baru ekonomi, dan sebagainya.
  • Institusionalisme Baru melihat institusi negara sebagai hal yang dapat diperbaiki ke arah suatu tujuan tertentu, seperti misalnya membangun masyarakat yang lebih makmur. Berbeda dengan Institusionalisme Lama yang mengupas lembaga kenegaraan seperti apa adanya secara statis.
  • Institusionalisme Baru dipicu oleh pendekatan behavioralis yang melihat politik dan kebijakan publik sebagai hasil dari perilaku kelompok besar atau massa, dan pemerintah sebagai institusi yang hanya mencerminkan kegiatan massa itu.
  • Pendekatan Institusionalisme Baru menjelaskan bagaimana organisasi institusi itu, apa tanggung jawab dari setiap peran dan bagaimana peran dan institusi berinteraksi.
  • Institusi adalah organisasi yang tertata melalui pola perilaku yang diatur oleh peraturan yang telah diterima sebagai standar.
  • Menurut Jan-Erik Lane dan Svante Ersson, institusi mencakup (1) Struktur isik, (2) Struktur demograis, (3) Perkembangan historis, (4) Jaringan pribadi, dan (5) Struktur sementara (yaitu keputusan-keputusan sementara).
  • Pendekatan Rational Choice, yang tadinya berasumsi bahwa masyarakat terdiri dari individu-individu yang egois, juga mulai menyadari bahwa dalam menghadapi suatu institusi tertentu, keputusan-keputusan yang diambil oleh manusia juga dipengaruhi faktor lain.
  • Institusionalisme Baru menjadi sangat penting bagi negara-negara yang baru membebaskan diri dari cengkeraman suatu rezim yang otoriter serta represif.
  • Bagi penganut Institusionalisme Baru, pokok masalah ialah bagaimana membentuk institusi yang dapat menghimpun secara efektif sebanyak mungkin preferensi dari para aktor untuk menentukan kepentingan kolektif.
  • Dalam usaha menentukan institusi yang terbaik terjadi wacana dalam masyarakat mengenai cara bagaimana mengubah institusi yang ada agar menjadi lebih demokratis. Proses ini dapat disebut institutional engineering (rekayasa institusional) melalui suatu institutional design (rancangan institusional). Suatu design adalah ciptaan dari suatu rencana aksi untuk meraih hasil-hasil yang bernilai dalam konteks tertentu (Design is a creation of an actionable form to promote valued outcomes in aparticular context).